Kilimanjaro Hakuna Matata
Southern Ice Field di Puncak Kilimanjaro. Dengan bayangan Puncak Kilimanjaro
sendiri dan Gunung Meru di tengah lautan awan
„Jambo rafiki mpendwa“ atau „Hai kawan tercinta“ adalah kata-kata pertama yang dikatakan Elineema ketika kami bertemu lagi di Bandara Internasional Kilimanjaro, Tanzania.
Elineema atau „Eli“ adalah kolega setia saya, salah satu chief guide untuk pendakian Gunung Kilimanjaro, Gunung Meru dan lain-lain di Tanzania utara.
„Habari gani?“ (Apa kabar?) Kami berbagi cerita sebelum bersama tamu menuju hotel di Kota Moshi. Eli banyak bercerita tentang keluarga dan hal-hal baru di desa asalnya. Sementara dia ingin tahu pengalaman memandu saya sejak perjumpaan kami terakhir kali. Dalam kurun waktu itu saya sempat membawa grup trekker ke Pegunungan Andes di Peru, Bolivia, Cili, serta memandu glacier trek di Pegunungan Alpen Eropa dan trek lain ke Himalaya Nepal.
Demikianlah kami bertukar pengalaman masing-masing. Tidak banyak perubahan di Kota Moshi sejak kunjungan saya lima bulan lalu. Walaupun demikian, perjalanan ke Tanzania tetap memberikan kesan serta perasaan yang mendalam, kapan saja saya diberikan kesempatan oleh Yang Kuasa untuk berkunjung ke sana dan memandu grup ke Puncak Kilimanjaro. Sambutan warga setempat yang ramah dan alam yang memukau hanya dua dari sekian banyak alasan. Setiap perjalanan adalah pengalaman dan sensasi baru. Setiap kali, wajah Kilimanjaro berbeda, sapaannya pun berbeda. Kadangkala Kilimanjaro menyambut kami dengan hangat, dan memberikan cuaca nan ramah. Namun, kadangkala kedatangan kami seolah mengusik ketenangannya dan badai angin pun menderu, hujan salju dan temperatur turun sekian-sekian di bawah nol derajat.
Dalam kunjungan kali ini kami akan memandu dua grup berturut-turut dan harus berada di puncak dua kali dalam kurun sembilan hari. Apakah itu tantangan yang berat untuk mendaki puncak setinggi itu dua kali dalam waktu singkat? Dalam bahasa Kisuaheli mereka katakan: „Hakuna matata!“ Artinya: “Tidak masalah!” Itu hal biasa saat high season. “Hakuna Matata!” – bagai melodi pengiring dua pendakiankami kali ini.
Alam peninggalan dari jaman lampau, saat Gunung Kilimanjaro masih merupakan gunung api
Kali ini kami mendaki melalui rute Lemosho. Dapat dikatakan, salah satu rute terpanjang bila dihitung jumlah hari. Namun, barangkali itu adalah rute terbaik bila kita mengutamakan keselamatan serta tingkat kesuksesan mencapai puncak. 90% lebih tamu kami sejauh ini dapat mencapai puncak. Puncak yang kami maksud adalah Uhuru Peak (5895 m), bukan hanya Stella Point (5739m) atau Gilman´s Point(5681 m), di mana para pendaki sudah akan mendapatkan sertifikat, walaupun sebenarnya belum mencapai titik tertinggi Afrika. Setelah briefing peserta, saya masih sangat sibuk menyiapkan peralatan bersama Eli. Tenda, sleeping mattress, ransum makanan dan lain-lain. Tidak pernah selesai sebelum tengah malam, itu adalah rutinitas biasa namun luar biasa penting.
Esok hari pagi-pagi sekali seluruh peserta bertemu untuk makan pagi bersama jam 06.30. Bagasi yang tidak diperlukan selama pendakian, kami titip di depot, cek out dari hotel, inspeksi peralatan terakhir dan tepat jam 08.30 bus 4-WD kami bergerak menuju Londorossi Gate di mana kami harus sedikit bersabar melewati proses registrasi.
Bukan hanya surat ijin, jumlah barang bawaan pun diperiksa dan akan dicatat dalam satu formulir. Dengan demikian, petugas di pintu keluar akan dapat memeriksa apakah para pendaki gunung membawa keluar kembali semua sampah seperti kaleng kosong. Hingga proses tersebut selesai, kami juga telah selesai menyantap ransum makan siang kami.
Dari Londorossi Gate perjalanan dilanjutkan ke starting point Lemosho Glades di ketinggian sekitar 2100 m. Di sana bagasi dibagikan ke para porter, ransel kami pikul, dan sesaat kemudian, „Twende rafiki!“ Ayo kawan! „Pole-pole“, artinya pelan-pelan. Kata-kata ini selalu kami ingatkan kepada para pendaki. Karena itulah salah satu kunci sukses di Kilimanjaro maupun pendakian ke banyak puncak tinggi lainnya. Jalan setapak menerobos hutan asri membawa kami ke Camp pertama, Mti Mkubwa di ketinggian sekitar 2750 m. Hari itu kami sangat beruntung dapat melihat Kera Colobus dengan rambut panjang berwarna hitam putih.
Bunga endemik Impatiens Kilimanjari
Di perjalanan mendaki esok harinya pohon-pohon terlihat semakin kecil, dan waktu kami mencapai Camp Shira I di ketinggian 3500 m hanyalah semak-semak mengelilingi tenda-tenda kami. Cuaca saat itu agak mendung.
Jangan khawatir, hakuna matata. Menjelang matahari terbenam, kumpulan awan perlahan membuyar dan „Kibo“ pun menampakkan dirinya dengan megah. Kilimanjaro sesungguhnya merupakan gugusan masif yang terdiri dari tiga gunung: Kibo adalah yang tertinggi (dengan Uhuru Peak sebagai titik tertinggi), dua masif lainnya adalah Mawenzi dan Shira.
Silhouette Puncak Mawenzi dilihat dari dekat Puncak Uhuru
Esok paginya cuaca tetap ramah meskipun malam hari sudah mulai membeku, dua derajat Celcius di bawah nol. Hakuna matata dengan peralatan yang memadai. Beberapa peserta juga mulai merasakan gejala di ketinggian. Sakit kepala ringan adalah salah satu simptom utama.
Tidak masalah dengan pengetahuan „altitude medicine“. Kami sebagai guide di Jerman harus ikut kursus terkait topik ini termasuk pertolongan pertamanya hingga pemberian suntikan kortison dan seterusnya jika kondisi pasien kritis. Dan yang lebih penting adalah kemampuan dan sensibilitas mengenali simptom pada saat yang masih dapat diatasi. Lebih jauh, kursus ini kami ulang dua tahun sekali, agar pengetahuan tetap terkini. Inilah salah satu kunci sukses pendakian selain stamina. Hasil nyata dari pengetahuan dan pengalaman tersebut, sejauh ini tidak sekalipun grup-grup kami mengalami situasi gawat atau berbahaya terkait altitude sickness. Dengan demikian perjalanan hari ketiga menuju Camp Shira II (3850 m), termasuk kunjungan di Puncak Shira Cathedral benar-benar „hakuna matata“.
Tidak masalah pula di hari berikutnya di mana kami mulai menyentuh ketinggian yang cukup kritis di Lava Tower 4600 m dalam perjalanan ke Camp Barranco 3950 m. Kira-kira satu jam sebelum mencapai Camp kami mendapat kesempatan mengagumi tumbuhan endemik „Tree / Giant Groundsel“ atau dalam bahasa Latin: “Dendrosenecio”. Saat kami tiba, di Camp turun hujan rintik-rintik, sementara di ketinggian sekitar puncak kami lihat hujan turun berbentuk salju. Dari Camp ini sudah dapat terlihat awal etape berikutnya yang merupakan “bottle neck” pendakian ini: Barranco Wall.
Camp Barranco (3950 m) diselimuti kabut
Tree/ Giant Groundsel atau Dendrosenecio (Latin)
Mendaki gunung tinggi penting sekali menggunakan taktik serta teknik yang benar. Dengan demikian, Barranco Wall bukanlah tembok halangan besar untuk grup kami. Selalu „pole-pole“, selalu „hakuna matata“. Camp Karanga pada ketinggian sekitar 4050 m sekali lagi memberi kesempatan adaptasi di ketinggian, sebelum kami lanjut mendaki ke Camp tertinggi dan memulai pendakian menuju puncak. Selain itu Camp ini sering memesona para pendaki dengan pemandangan berada di atas awan, seakan kita tengah terbang. Tidak kalah memesona saat awan memudar: di malam hari yang cerah kami dapat melihat lampu-lampu menerangi Kota Moshi.
Di bibir Kawah Kibo, bagaikan terbang di atas awan
Hari berikutnya cukup singkat. Camp Barafu yang merupakan Camp terakhir di ketinggian sekitar 4650 m kami tempuh dalam waktu sekitar 3 jam saja.
Lebih singkat lagi adalah malam hari kami: jam 23.00 kami, guide akan membangunkan para pendaki untuk „sarapan pagi“. Makan pagi jam sebelas malam? Benar, demikianlah di Kilimanjaro. Tepat tengah malam kami mulai mendaki puncak tertinggi Afrika tersebut. Cahaya dari headlamp menerangi jalan setapak. Oksigen tipis, suhu di bawahnol, hilangnya nafsu makan dan kurang tidur membuat setiap langkah berat seakan kaki kami dibebani bebatuan. Kilimanjaro memang butuh perjuangan.
Tetapi tidak masalah, kami jalan terus, pole-pole. Dengan taktik yang benar hakuna matata. Dan tepat jam 06.30 pagi kami mengalami momen sangat menyentuh, grup kami tiba di titik tertinggi benua Afrika, salah satu dari „Seven Summits“. Uhuru Peak di ketinggian 5895 m!
Penulis (baris paling belakang paling kanan) bersama tamu
Selamat, congratulations, rangkul kiri dan kanan, tetesan air mata di tengah pemandangan spektakuler. Momen yang dinantikan setiap pendaki.
Setelah berfoto bersama kami segera menapaki perjalanan turun yang memakan waktu satu setengah hari. Bagi kebanyakan peserta merupakan pengalaman luar biasa unik sekali seumur hidup mereka. Eli dan saya beruntung sembilan hari kemudian boleh kembali untuk menikmati atraksi ini.
Setelah pendakian kedua saya masih menemani para peserta untuk bersafari ria antara lain ke Serengeti National Park. Siapa yang tidak kenal nama ini? Surganya mereka yang ingin mengamati fauna Afrika. Tapi itu tentunya merupakan kisah lain.
Baiklah, rekan-rekan pecinta alam, keep on walking, pole-pole, hakuna matata.
Sampai jumpa, tutaonana tena!
Anda pikir Mount Kilimanjaro adalah target yang terlalu sulit? Jika anda tidak kesulitan jogging satu jam non-stop, sehat dan
ada sedikit pengalaman hiking, jangan ragu untuk hubungi kami.
Penulis(baris depan, t-shirt merah) bersama guide lokal Elineema (t-shirt kuning) dan trekking staf lainnya sekembali di Kota Moshi
ⓒ Tjahjadi Nurtantio
Trip designer of csvakansi.com